MAKALAH
ULUMUL
HADITS
PERKEMBANGAN
ILMU HADITS DAN
CABANG-CABANG ILMU HADITS
Di ajukan Sebagai Tugas kelompok
Dosen Pengampu
:AtipPurnama, S.Hi
Kelompok2
:
Ubun Bunyamin
Rida Diniah
Nia Herlina
Yulia Susanti
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI)
MUHAMMADIYAH
GARUT
2014
Kata
Pengantar
Asslamu'alaikum Wr. Wb.
Shalawat
serta salam semoga tercurah selalu kepada junjungan kita sekalian Nabi Muhammad
SAW.
Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan serta pengertian ilmu hadits adalah suatu cabang ilmu
yang sangat penting untuk dipelajari oleh semua kalangan umat islam tetapi bukan
suatu hal yang , mudah untuk mencapai apa yang menjadi kewajiban kita sekalian dalam
mempelajarinya.
Dengan
ini kami memberanikan diri untuk menyampaikan secara singkat tentang Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan serta pengertian cabang-cabang ilmu hadits, tentunya masih banyak
kekurangan dalam penulisan ini. Kami senantiasa menanti adanya kritik dan saran
membangun dalam penulisan makalah ini demi kemajuan kita bersama.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb
Garut
April 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar ………………………………………………………….
|
i
|
Daftar
Isi ………………………………………………………………..
|
ii
|
BAB
I PENDAHULUAN ………………………………………………..
A.
LATAR BELAKANG …………………………………………….
B.
RUMUSAN MASALAH …………………………………………
C.
TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
………………………
|
1
1
2
2
|
BAB
II PEMBAHASAN ………………………………………………...
A.
Pengertian Ilmu Hadits
……………………………………………
B.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Ilmu Hadits …………...
1. Masa
Klasik …………………………………………………...
2. Masa
Pertengahan ……………………………………………..
3. Masa
Modern …………………………………………….....
C.
Cabang-Cabang Ilmu Hadits
………
1. Ilmu
Rijal Al-Hadits …………………………………………..
2. Ilmu
Jarh WaTa’dil …………………………………………..
3. Ilmu
Tarikh Ar-Ruwah ……………………………………......
4. Ilmu
Illal Al-Hadits …………………………………………...
5. Ilmu
An-Naskh Wa Al-Mansukh ……………………………..
6. IlmuAsbab
Al-Wurud Al-Hadits ……………………………..
7. Ilmu
Mukhtalif Al-Hadits …………………..……………......
|
2
2
6
6
9
9
10
10
12
14
14
15
16
17
|
BAB
III PENUTUP …………………………………………………….
A.
KESIMPULAN …………………………………………………...
B.
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………..
|
18
18
18
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah
al-Qur’an, hadits Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian
keislaman.Namun karena pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentang waktu yang
cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis
pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar
di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah
tersebut juga sering dijadikan celah dan startingpoint oleh
musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits
Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab
dengan budaya tulis-menulis.Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang
ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah
menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap
hadits-hadits Nabi.Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai
sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian
menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu,
kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan,
baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang
paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang
untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai
istilah dan kaidah itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadits akan
mampu meneliti dan memahami hadits secara benar. Dinyatakan demikian, karena
kompleksitas permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan
dalam meneliti dan memahami hadits, maka ulama hadits, sesuai dengan
keahlian masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat ilmu.
Cabang-cabang pengetahuan itu ada yang berhubungan dengan sanad, ada yang
berhubungan dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan
matan.Karena berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan yang berkaitan
dengan hadits begitu banyak, maka dengan sendirinya jumlah dan jenis kitab yang
membahas hadits Nabi juga begitu banyak.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Ilmu Hadits;
2. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu
Hadits;
3. Pengertian Cabang – Cabang Ilmu Hadits.
C.
TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1.Untuk memberikan
pemahaman kepada pembaca tentang pengertian Ilmu Hadits;
2.
Memberikan informasi Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits yang
terbagi dalam tiga masa, yaitu :
2.1. Masa Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
2.2. Masa Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
2.3. Masa Modern (Abad 14 H samapai Sekarang)
3. Memberikan pemahaman dan pengertian tentang Cabang-Cabang
Ilmu Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Hadits
Ilmu hadits (Ulum
al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadits. Secara
etimologis, seperti yang telah diungkapkan oleh As-Suyuti, ilmu hadits adalah
Ų¹ِŁْŁ
ٌ ŁُŲØْŲَŲ«ُ
ŁِŁْŁِ Ų¹َŁْ ŁَŁْŁِŁَŲ©ِ Ų„ِŲŖِّŲµَŲ§Łِ Ų§ْŁŲَŲÆِŁْŲ«ِ ŲØِŲ±َŲ³ُŁْŁِ Ų§ŁŁŁِ Ųµ. Ł
. Ł
ِŁْ
ŲَŁْŲ«ُ Ų£َŲْŁَŲ§Łِ Ų±ِŁَŲ§ŲŖِŁِ Ų¶َŲØْŲ·ًŲ§ ŁَŲ¹َŲÆَŲ§ŁَŲ©ً ŁَŁ
ِŁْ ŲَŁْŲ«ُ ŁَŁْŁِŁَّŲ©ِ
Ų§ŁŲ³َّŁَŲÆِ Ų§ِŲŖِّŲµَŲ§ŁŲ§ً ŁَŲ§ŁْŁَŲ·َŲ§ Ų¹ًŲ§ ŁَŲŗَŁْŲ±ِ Ų°ŁِŁَ.
“Ilmu
pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul
SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut kedhobitan dan
keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya”.
Prof. Dr. T. M.
Hasbi ash-Shiddieqy yang dikutip oleh Abdullah Karim, mendefinisikan Ulum
al-Hadits adalah ilmu-ilmu yang berpautan dengan hadits. Semua ilmu
yang berkaitan dengan hadits, dapat diistilahkan dengan ilmu hadits, yang
bentuk jamaknya adalah Ulum al-Hadits.Walaupun macam ilmu-ilmu hadits
itu banyak, namun dapat dikategorikan pada dua rumpun ilmu, yaitu Ilmu Hadits
Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
1. Ilmu Hadits Riwayah
Kata riwayah
artinya meriwayatkan, menceritakan, memindahkan. Menurut para ulama yang
dikutip oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat adalah suatu macam ilmu tentang
meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan-perbuatannya, taqrir-taqrirnya dan
sifat-sifatnya. Karena ilmu ini sifatnya hanya mengumpulkan hadits-hadits saja
tanpa memeriksa sah atau tidaknya yang orang sandarkan kepada Nabi SAW.
Menurut Ibn
al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi dalam bukunya Nawir Yuslem,
bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah adalah:
Ų¹ِŁْŁ
ُ
Ų§ْŁŲَŲÆِŁْŲ«ِ Ų§ْŁŲ®َŲ§ Ųµُّ ŲØِŲ§ŁŲ±ِّŁَŲ§ŁَŲ©ِ Ų¹ِŁْŁ
ٌ ŁَŲ“ْŲŖَŁ
ِŁُ Ų¹َŁَŁ ŁَŁْŁِ Ų£َŁْŁَŲ§Łِ
Ų§ŁŁَّŲØِŁِّ ŲµَŁَّŁ Ų§ŁŁŁُ Ų¹َŁَŁْŁِ ŁَŲ³َŁَّŁ
َ ŁَŲ£َŁْŲ¹َŲ§ŁِŁِ ŁَŲ±ِŁَŲ§ŁَŲŖِŁَŲ§
ŁَŲ¶َŲØْŲŖِŁَŲ§ ŁَŲŖَŲْŲ±ِŁْŲ±ِ Ų£ْŁŁَŲ§ŲøِŁَŲ§.
“Ilmu hadits
yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan
(periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya,
dan penguraian lafaz-lafaznya”.
Definisi yang hampir senada juga dikatakan oleh
Zafar Ahmad Ibn Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam bukunya Qawa’id fi
Ulum al-Haditsnya;
Ų¹ِŁْŁ
ُ
Ų§ْŁŲَŲÆِŁْŲ«ِ Ų§ْŁŲ®َŲ§ Ųµُّ ŲØِŲ§ŁŲ±ِّŁَŲ§ŁَŲ©ِ ŁُŁَ: Ų¹ِŁْŁ
ٌ ŁُŲ¹ْŲ±َŁُ ŲØِŁِ Ų£َŁْŁَŲ§Łِ
Ų±َŲ³ُŁْŁِ Ų§ŁŁŁِ ŲµَŁَّŁ Ų§ŁŁŁُ Ų¹َŁَŁْŁِ ŁَŲ³َŁَّŁ
َ ŁَŲ£َŁْŲ¹َŲ§ŁُŁُ Łَ Ų£َŲْŁَŲ§ŁُŁُ
ŁَŲ±ِŁَŲ§ŁَŲŖُŁَŲ§ ŁَŲ¶َŲØْŲ·ُŁَŲ§ ŁَŲŖَŲْŲ±ِŁْŲ±ُŲ£َŁْŁَŲ§ŲøِŁَŲ§.
“ Ilmu hadits
yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan
, perbuatan dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian
lafaz-lafaznya”.
Dari
definisi di atas dapat dipahami bahwa ilmu hadits riwayah pada dasarnya
membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau
pembukuan hadits Nabi SAW.
Ilmu
hadits riwayah ini sudah ada semenjak Nabi SAW masih hidup, yaitu bersamaan
dengan dimulainya periwayatan hadits itu sendiri. Para sahabat Nabi SAW menaruh
perhatian yang tinggi terhadap hadits Nabi, mereka berupaya untuk memperoleh
hadits Nabi SAW dengan cara mendatangi majlis Rasul SAW serta mendengar serta
menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau.
Ulama
yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadits riwayah adalah Abu
Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di
Hedzjaz (Hijaz) dan Syam sebagai ulama pertama yang menghimpun hadits Nabi SAW,
atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99 H/717 M-102 H/720 M).
Adapun faedah
dengan adanya ilmu hadits riwayah adalah
a. Supaya kita dapat membedakan mana yang orang
sandarkan kepada Nabi SAW dan mana yang disandarkan kepada selain beliau.
b. Agar supaya hadits tidak beredar dari mulut
kemulut atau dari satu tulisan ke tulisan yang lain tanpa sanad.
c. Agar dapat diketahui jumlah hadits yang orang
sandarkan kepada Nabi SAW.
2. Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits
dirayah ialah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang
diriwayatkan, untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak.
Definisi yang
lain seperti halnya yang diungkapkan oleh Izzuddin bin Jama’ah yang dikutip
oleh M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi adalah:
Ų¹ِŁْŁ
ُ
ŲØِŁَŁَŲ§ŁِŁْŁَ ŁُŲ¹ْŲ±َŁُ ŲØِŁَŲ§ Ų£َŲْŁَŲ§Łُ Ų§ŁŲ³َّŁَŲÆِ ŁَŲ§ْŁŁ
َŲŖْŁِ.
“Ilmu yang membahas
pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”
Ibnu al-Akfani
yang dikutip oleh Munzier Suparta mendefinisikan ilmu hadits dirayah sebagai
berikut:
Ų¹ŁŁ
ŁŲ¹Ų±Ł Ł
ŁŁ
ŲŁŁŁŲ© Ų§ŁŲ± ŁŲ§ŁŲ© ŁŲ“Ų±ŁŲ·ŁŲ§ ŁŲ£ŁŁŲ§Ų¹ŁŲ§ ŁŲ£ŲŁŲ§ Ł
ŁŲ§ ŁŲŲ§Ł Ų§ŁŲ±ŁŲ§Ų© ŁŲ“Ų±ŁŲ·ŁŁ
ŁŲ§ŲµŁŲ§Ł Ų§ŁŁ
Ų±ŁŁŲ§ ŲŖ
ŁŁ
Ų§ ŁŲŖŲ¹ŁŁ ŲØŁŲ§.
“Ilmu
pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam
dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik
syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala yang
berkaitan dengannya”.
Yang dimaksud
dengan:
- Hakikat
periwayatan adalah penukilan hadits dan penyandarannya kepada sumber hadits
atau sumber berita.
-
Syarat-syarat
periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap hadits yang akan diriwayatkan
dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti melalui al-Sama’(pendengaran),
al-Qira’ah (pembacaan), al-Washiah (berwasiat), al-Ijazah
(pemberian izin dari perawi).
- Macam-macam
periwayatan adalah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan
dan lain-lain.
- Hukum-hukum
periwayatan adalah pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu hadits.
-
Keadaan para
perawi ialah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan
syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
-
Macam-macam
hadits yang diriwayatkan meliputi hadits-hadits yang dapat dihimpun pada
kitab-kitab hadits.
Dari pengertian
tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara
menerima dan menyampaikan hadits, sifat rawi dan lain-lain. Dan ilmu hadits
dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan ulumul
hadits, musthalah al-hadits atau ushul al-hadits.keseluruhan
nama-nama tersebut meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang
sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan
perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu hadits, dari segi diterima
dan ditolaknya.
Ilmu hadits
dirayah mulai dibahas pada pertengahan abad ke-2 H. Akan tetapi pada waktu itu
masih belum merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Buku-buku yang berkaitan
dengan ilmu ini antara lain ditulis oleh Aliy Ibnu al-Madini (161-234 H),
al-Bukhari (198-252 H), at-Turmuzi (200-279 H). Ilmu ini mulai ditulis dalam
sebuah buku secara khusus oleh al-Qadi Ibnu Muhammad ar-Ramahhurmuzi (265-360
H) dengan judul al-Muhaddis al-Fasil Bayn ar-Rawi wa al-Wa’iy. Kemudian
disusul oleh al-Hakim Abu Abdillah Abu Abdillah an-Naysaburi (321-405 H),
selanjudnya Abu Nu’aym al-Isbahani, berikutnya al-Khatib Abu Bakr al-Bagdadi
(w. 463 H) dan lain-lain.
Adapun tujuan
dan faedah ilmu hadits dirayah adalah:
1.
Mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan hadits da ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa
Nabi SAW sampai sekarang.
2. Mengetahui
tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan,
memelihara, dan meriwayatkan hadits.
3.Mengetahui
kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits
lebih lanjut.
4.
Mengetahui
istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam
menentukan suatu hukum syara’.
Dengan melihat
uraian ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah di atas, tergambarkan adanya
kaitan yang sangat erat, antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena,
setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan
diperlukan, baik dalam penerimaannya maupun penyampaiannya kepada pihak lain.
Sejalan dengan perjalanan ilmu hadits riwayah, ilmu hadits dirayah juga terus
berkembang menuju kesempurnaannya sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan
langsung dengan perjalanan hadits riwayah.Oleh karena itu, tidak mungkin ilmu
hadits riwayahberdiri tanpa ilmu hadits dirayah, begitu juga sebaliknya.
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu ini pada
dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi ilmu ini
terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat, terutama sekali ketika umat Islam
memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan yang mereka
lakukan, sudah barang tentu secara langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah
guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah
itu semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan
ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang
hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.
Uraian berikut
akan menitkberatkan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits menjadi
tiga periodesasi yaitu awal lahirnya ilmu hadits sampai pada masa kekininan.
1.
Masa Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
Hadits-hadits
Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang adalah hasil
kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW
dahulu.Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh
mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka
menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga
sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadits.
Cara penerimaan
hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di masa generasi
sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat
beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat lainnya.
Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar untuk memperoleh hadits Nabi SAW,
oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan
dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung. Apabila diantara
mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebe Ketigatulan
mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta apa yang mereka
peroleh dari beliau.
Pada masa
ini kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadits) yang menjadi cikal
bakal ilmu hadits terutama ilmu hadits dirayah dilakukan dengan
cara yang sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima
suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Nabi SAW atau sahabat
lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia
menerima dan mengamalkan hadits tersebut.
Pada masa
Sahabat yang dimulai dari khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu
pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya, terus menjunjung tinggi hadits-hadits
Nabi SAW. Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada
dasarnya adalah:
a.
Para khulafa
al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri’,
maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping
al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
b.
Para sahabat
berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun
periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan
Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum
bersifat pelajaran.
Dalam
prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a.
Dengan lafazh
asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal
benar lafazh dari Nabi.
b.
Dengan maknanya
saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak
hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana
masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar
mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi
SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan
mengambil langkah berupa:
a.
Menyedikitkan
riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer
dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
b.
Menapis dalam
penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup adil
atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima
hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi, keterangan-keterangan yang
bisa menyakinkan.
Dalam masa
sahabat ini, perkembangan penelitian hadits menyangkut sanad maupun matan
hadits semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah
hadits, seperti halnya yang telah dilakukan khalifah pertama Abu Bakar yang
diikuti sahabat sesudahnya, yaitu tidak mau menerima suatu hadits yang
disampaikan seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk
memastikan kebenaran riwayat yang disampaikanya. Kecuali sahabat Ali r.a
memiliki persyaratan tersendiri dalam menerima suatu hadits, yaitu orang yang
menyampaikan sebuah hadits harus bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang
dibawanya.
Perinsip dasar
penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksaan yang dicontohkan oleh para
sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin
yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Mussab (15-94 H), Al-Hasan
Al-bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbi Asy-sya’bi (17-104 H) dan Muhammad bin
Sirin (w. 110 H).
Dalam catatan
sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, ulama yang pertama kali berhasil
menyusun ilmu hadits dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu
Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H)
dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Kitab
ini pada masa itu merupakan kitab yang paling populer dan terlengkap, yang
kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh para ulama-ulama berikutnya.
Kemudian muncul
ulama-ulama muhaditsin lainnya seperti Al-Hakim Abu Abdillah (405 H), yang
mengarang kitab Ma’rifah Ulumil Hadits, yang isinya membagi ilmu hadits
menjadi 50 macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani (430 H),
yang menambah beberapa pembahasan yang telah dibahas oleh Al-Hakim. Kemudian
Al-Khathieb Al-Baghdad (463 H), beliau mengarang beberapa macam kitab ilmu
hadits, yang dijadikan rujukan oleh ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti
dalam masalah Qawaninur Riwayat (aturan-aturan periwayatan), beliau
menyusun kitab Al-Kifayah fi Qawaninur Riwayah dan dalam masalah
adab-adab riwayat beliau menyusun kitab Al-Jami’ li Adabibsy Syaikh was Sami’.
Setelah itu ada
Al-Qadli Iyadl (544) yang menyusun kitab Al-Ilma’ yang pembahasannya
diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb dan setelah itu bermunculan ulama-ulama
yang menyusun ilmu seperti ini, seperti Al-Hafidh Taqiyuddin Abu Amer Utsman
Ibnush Shalah Ad Dimasyqi (642 H), dalam kitabnya Muqaddamah Ibnush Shalah
atau Ulumul Hadits yang dajarkan kepada murid-muridnya di perguruan
Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab ini dinadhamkan oleh ulama-ulama berikutnya
seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya yang kemudian disyarahkan olehnya sendiri
dalam kitab Fathul Mughits dan oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga ulama
yang mengikhtisarkan seperti An Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang
diringkas dalam kitab At-Taqrib yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal
al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya At
Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Demikian perkembangan ilmu hadits
pada abad ini yang kemudian di sempurnakan kembali oleh ulama-ulama yang datang
belakangan.
2.
Masa Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
Ulama pada abad
ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis oleh
ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibnush Shalah
yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadits yang ditulis oleh
Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H), yang kemudian disyarahkan oleh
Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba’atsul Hatsits ala
Ma’rifati Ulumil Hadits.
Dan dalam kitab
Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli Al-Atsar karya Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani (852 H), merupakan kitab kecil yang diringkasan namun termasuk
ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiaanya, serta
telah disyarahkan oleh penyusunnya sendiri dalam kitab Nuzhatu An-Nazhar.
Muhammad bin
Abdirrahman As-Sakhawi (902 H), juga menulis kitab tentang ilmu hadits dalam
sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati Al-Hadits
yang merupakan syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah Al-Iraqi.
Dan kitab Fathul Baqi ala Alfiyati Al-Iraqi karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh
Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria Al-Anshari (925 H).
3.
Masa Modern (Abad 14 H samapai Sekarang)
Perkembangan
ilmu hadits abad demi abad terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan pada
abad ini yang terus menulis ilmu hadits dari ulama muhaditsin adalah Asy-Syaikh
Thahir Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila Ilmi Usulil
Atsar, salah satu kitab yang mempunya nilai tinggi dalam ilmu hadits dan
As-Sayid Jamaluddin Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya QawaidutTahdits fi
Fununil Hadits, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib
susunannya.
Ulama
kontemporer yang masih bergelut membahas dan mendalami ilmu hadits adalah Dr.
Mahmud At-Thahhan dalam karyanya yang berjudul Taisir Musthalah Al-Hadits.
Demikianlah
perkembangan ilmu hadits yang mengalami kemajuan dari waktu kewaktu untuk
menjadi sebuah ilmu yang sempurna.
C. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Dari ilmu hadits riwayah dan
ilmu hadits dirayah ini, pada perkembangan berikutnya muncullah cabang-cabang
ilmu hadits lainnya, seperti ilmu Rijal al-hadits, ilmu Jarh wa Ta’dil, ilmu
Tarikh ar-ruwah, ilmu Illal al- hadits, ilmu Nasakh Mansuhk, ilmu Asbab
al-wurut al-hadits dan ilmu Mukhtalif al-hadits. Secara singkat cabang-cabang
tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1. ILMU RIJAL AL-HADITS
Ilmu Rijalal-hadits adalah ilmu
yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari kalangan sahabat, tabiin,
maupun dari angkatan sesudahnya.Dengan ilmu ini kita dapat mengtahui keadaan
para perawi yang menerima hadits dari rasulullah dan keadaan para perawi yang
menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.Didalam ilmu ini diterangkan tarikh
ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi
dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadits.
Ilmu tersebut sangat penting
untuk dipelajari dengan seksama dalam lapangan ilmu hadits, karena obyek kajian
dalam hadits pada dasarnya terletak pada dua hal yaitu sanad dan matan.Maka
mengetahui mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh
dari pengetahuan.
Kitab-kitab yang disusun dalam
ilmu ini beragam, ada yang hanya menerangkan tentang riwayat-riwayat
singkat dari para sahabat saja, ada yang menerangkan tentang riwayat-riwayat
umum para perawi, ada yang menerangkan tentang perawi-perawi yang dipercaya
saja, ada yang menerangkan tentang riwayat-riwayat para perawi yang lemah, para
mudallis atau para pemuat hadits Maudlu’, ada yang menerangkan tentang
sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil seorang rawi dengan
menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan. Ada yang
menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang didalam ilmu
hadits disebut mu’talif dan mukhtalif, ada yang menerangkan tentang nama-nama
perawi yang sama berbeda orangnya seperti Khalil Ibnu Ahmad, nama ini dimiliki
banyak orang. Dalam istilah dikatakan muttafiq dan muftariq, dan ada yang
menerangkan nama-nama yang serupa tulisan dan sebutan, akan tetapi berlainan
keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa, sti Muhammad Ibnu Aqil
dan Muhammad Ibnu Uqail. Hal tersebut dalam istilah adalah musytabah.Dan ada
juga yang hanya menyebut tanggal wafat.Disamping itu ada pula yang hanya
menerangkan nama-nama yang terdaptat dalam satu kitab saja.Dan semua
kitab-kitab tersebut telah disusun oleh para ulama hadits.
Permulaan ulama yang menyusun
kitab riwayat ringkas para sahabat adalah Imam Al-Bukhari(256 H). Kemudian
usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saat. Setelah itu terdapat beberapa
ahli lagi diantaranya Ibnu Abdil Barr(463 H) dengan kitabnya yang bernama
Al-Istiab.
Pada permulaan abad ke-7
Hijriyah, Izzuddin Ibnu Atsir(630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah
tersusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang bernama Usdul Gabah.
Ibnu Atsir adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang kitab An-Nihayah
fi Garibil Hadits. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Az-Dzahabi(747 H) dalam
kitab At-Tajrid.
Sesudah itu pada abab ke-9
Hijriyah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyusun kitabnya yang terkenal
dengan nama Al-Ishabah. Kitab tersebut berupa kumpulan dari Al-Istiab dengan
Usdul Gabah dan ditambah dengan pembahasan lain yang tidak terdapat didalamnya.
Kitab ini telah diringkas oleh Imam As-Suyuti dalam kitab Ainul Ishabah.
Al-Bukhari dan Muslim telah
menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan
suatu hadits saja yang dalam istilah disebut wuzdan.Kemudian dalam bab ini
Yahya Ibnu Abdul Wahab Ibnu Mandah Al-Asbahani(551 H) menulis sebuah kitab
yang menerangkan tentang nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.
2. ILMU JARH WA TA’DIL
Pada hakikatnya ilmu jarh wa
Ta’dil merupakan suatu bagian dari ilmu Rijal al-hadits, akan tetapi bagian
tersebut dipandang sebagai bagian terpenting dalam hadits maka ilmu ini dijadikan
sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Ilmu Jarh wa Ta’dil
terdiri dari al-jarh dan at-ta’dil. Al-Jarh menurut bahasa berarti luka
atau cacat sedang menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari tentang
kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedabitannya. Para ahli hadits
mendefinisikan al-jarh dengan: ”Kecacatan para perawi hadits karena sesuatu
yang dapat merusak keadilan dan kedabitannya”
At-Ta’dil menurut bahasa berarti
at-tasywiyah(menyamakan), sedang menurut istilah adalah lawan dari al- Jarh
yaitu pembersian dan panyucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dabit.
Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-Ta’dil dalam satu definisi, yakni:
”Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat menunjukkan
keadaan mereka baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan
ungkapan atau lafad tertentu”
Contoh ungkapan tertentu untuk
mengetahui keadilan atau kedabitan para perawi, antara lain:
vFulan
orang yang paling dipercaya
vFulan
kuat hafalannya
vFulan
hujjah
Contoh
ungkapan tertentu untuk mengetahui kecacatan para perawi, antara lain:
vFulan
orang yang paling berdusta
vFulan
tertuduh dusta
vFulan
bukan hujjah
Menurut keterangan Ibnu
Adi(365 H) dalam muqaddimah kitab Al-Kamil, para ahli telah menyebutkan
keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang
menyebutkan keadaan para perawi hadits yaitu Ibnu Abbas(68 H), Ubadah Ibnu
Shamit(34 H) dan Anas Ibnu Malik(93 H).
Di antara tabi’in yaitu Asy
Syabi(103 H), Ibnu Sirin(110 H), Said Ibnu
Al-Musaiyab(94 H).Dalam masa mereka masih sedikit orang yang dipandang
cacat dan pada abad ke-2 Hijriyah banyak ditemukan orang-orang yang lemah.
Kelemahan itu adakalanya karena menyampaikan hadits, mengangkat hadits yang
sebenarnya adalah hadits Mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang
tidak disengaja seperti Abu Harun Al-Abdari(143 H).
Setelah masa tabiin yaitu pada
tahun 150 Hijriyah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi,
menakdil dan menajrih mereka. Diantara ulama besar yang ikut memberikan
perhatian dalam masalah tersebut yaitu Yahya Ibnu Said
Al-Qattan(189 H), Abdur Rachman Ibnu Mahdi(198 H), Yazid Ibnu
Harun(189 H) dll. Dan barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarh
dan ta’dil yang di dalam kitab tersebut tentang keadaan para perawi boleh
atau tidaknya riwayat yang disampaikan. Di antara pemuka-pemuka jarh dan ta’dil
yaitu Yahya Ibnu Main(233 H), Ahmad Ibnu Hanbal(241 H), Muhammad Ibnu
Saat(230 H) dll. Kemudian pada setiap masa terdapat para ulama yang
memperhatikan keadaan perawi hingga sampai pada masa Ibnu Hajar
Asqalani(852 H).
Kitab-kitab tentang jarh dan
ta’dil yang disusun sangat beragam. Ada yang menerangkan tentang
orang-orang yang dipercaya saja, ada yang nenerangkan tentang
orang-orang yang lemah saja dan ada juga kitab yang melengkapi semuanya. Kitab
tersebut adalah kitab Tabaqat yang di karang oleh Muhammad Ibnu saat Az-Zuhri
Al-Basari(230 H), Ali Ibnu Madini(234 H), Imam Al-Bukhari, Muslim,
Al-Hariwi(301 H) dan Ibnu Hatim(327 H). Yang sangat berguna bagi ahli
haduts dan fiqih adalah kitab At-Takmil susunan Imam Ibnu Katsir.
Di antara kitab-kitab yang
membahas tentang orang-orang yang dapat dipercaya yaitu kitab As-Siqat karangan
Al-Ajaly(261 H), As-Siqat karangan Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busty yang
menerangkan tentang tingkatan para penghafal dan ada juga ulama lain yang
menyusun seperti kitab tersebut di antaranya Az- Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani
dan As-Sayuti. Sedang kitab-kitab yang membahas tentang kecacatan seorang
perawi antara lain yaitu Ad-Duafa karangan Imam Al-Bukhari dan kitab Ad-Duafa
karangan Ibnu Jauzi.
3. ILMU TARIKH AR-RUWAH
Ilmu Tarikh ar-ruwah adalah ilmu
yang membahas tentang keadaan dan identitas perawi seperti kelahirannya,
wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan hadits dari dirinya, tempat
tingga mereka, tempat mereka mengadakan lawatan dll. Ilmu ini untuk mengetahui
para perawi hadits yang berkaitan dengan usaha atau cara periwayatan mereka
terhadap hadits.
Sebagai bagian dari ilmu rijal
al-hadits, ilmu ini mengkhususkan pembahasanya secara mendalam pada sudut
kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.Adapun hubungan
antara ilmu tersebut dan ilmu tabaqah ar-ruwah, terdapat beberapa pendapat di
antara para ulama.Ada ulama yang membedakannya dan ada juga yang
menyamakannya.Menurut As-Suyuti, hubungan antara tabaqah ar-ruwah dan
tarikh ar-ruwah adalah umum dan khusus. Keduanya bersatu dalam pengertian yang
berkaitan dengan para perawi,tetapi ilmu tarikh ar-ruwah menyendiri dalam
hubungannya dengan kejadian- kejadian yang baru. Menurut As-Sakhawi, para ulama
mutakhirin membedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka, ilmu
tarikh ar-ruwah melalui eksistensinya berfungsi untuk memperhatikan kelahiran
dan wafat para perawi dan melalui sifatnya, berfungsi untuk memperhatikan hal
ihwal para perawi.Adapun ilmu tabaqah ar-ruwah, melalui eksistensinya,
berfungsi untuk memperhatikan hal ihwal perawi dan melalui sifatnya berfungsi
untuk memperhatikan kelahiran dan kapan mereka wafat.
4. ILMU ILLAL AL-HADITS
Kata illal adalah bentuk jamak
dari kata al-illah yang menurut bahasa berarti al-marad (penyakit atau sakit).
Menurut ulama Muhadditsin , istilah illah berarti sebab yang tersembunyi atau
samar yang dapat mencemarkan hadits, sehingga hadits tersebut tidak terlihat
cacat. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Illah Al-Hadits menurut ulama
Muhadditsin adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang tersembunyi yang
dapat mencacatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan muttasil terhadap hadits
yang munqati’, menyebut marfu’ pada hadits yang mauquf, memasukkan hadits
kepada hadits lain dll.
Abu Abdullah
Al-HakimAn-Naisaburi dalam kitabnya Ma’rifah Ulum Al-Hadits menyebutkan bahwa
ilmu Illah Al-Hadits adalah ilmu yang berdiri sendiri, selain dari ilmu yang
sahih dan dhaif, jarh dan ta’dil. Ia menerangkan , illat hadits tidak termasuk
dalam bahasan jarh sebab hadits yang majrub adalah hadits yang gugur dan tidak
dipakai. Illat hadits yang banyak terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang kepercayaan yaitu orang-orang yang menceritakan suatu hadits yang
mengandung illat tersembunyi.Karena illat tersebut maka haditsnya disebut
hadits ma’lul.Lebih jauh lagi, Al-Hakim menyebutkan bahwa dasar penetapan illat
hadits adalah hapalan yang sempurna, pemahaman yang mendalam, dan pengetahuan
yang cukup.
Di antara ulama yang menulis
ilmu tersebut yaitu Ibnu Madini(234 H), Ibnu Abi Hatim(327 H), kitab
beliau sangat baik yang bernama kitab Illail Hadits. Selain itu, ulama yang
menulis kitab ini adalah Imam Muslim(261 H), Ad-Darqutni(357 H) dan
Muhammad Ibnu AbdillahAl-Hakim.
5. ILMU AN-NASAKH WA
AL-MANSUKH
Kata an-nasakh menurut bahasa
adalah mempunyai dua pengertian yaitu izalah(menghilangkan) dan
an-naql(nenyalin). Pengertia an-nasakh menurut bahasa dapat ditemukan dalam
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 106. Sedang menurut istilah sebagian pendapat
ulama ushul adalah “syari’ mengangkat(membatalkan) suatu hukum syara’ dengan
menggunakan dalil syar’I yang datang kemudian”. Konsekuensi dari pengertian ini
adalah bahwa menerangkan nash yang mujmal, menasikhkan yang ‘am, dan
mentaqyidkan yang mutlaq tidaklah dikatakan nasakh.
Yang dimaksud ilmu Nasakh wa
Mansukh dalam ilmu hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang
terdahulu disebut mansukh dan yang dating kemudian disebut nasikh.
Apabila didapati suatu hadits
yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadits tersebut
adalah hadits Muhkam. Namun jika dilawan dengan hadits yang sederajat,
tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadits tersebut adalah hadits
Mukhatakif al- hadits. Jika tidak mungkin untuk dikumpulkan dan diketahui mana
yang terkemudi, maka yang terkemudi itu adalah nasikh dan yang terdahulu
adalah mansukh.
Para ulama yang menyusun
kitab-kitab nasakh dan mansukh antara lain Ahmad Ibnu Ishaq
Ad-Dinary(318 H), Muhammad Ibnu Bakar Al-Asbahani(322 H), Ahmad Ibnu
Muhammad An-Nahhas(338 H), Muhammad Ibnu Musa Al-Hazimi(584 H)
menyusun kitabnya yang bernama Al-Iktibar. Kitab tersebut telah diringkas oleh
Ibnu Abdil Haq(744 H).
6. ILMU ASBAB AL-WURUD
AL-HADITS
Kata asbab adalah bentuk jamak
dari asbab.Menurut ahli bahasa asbab diartikan dengan al-habl(tali), yang
menurut lisan Al-Arab berarti saluran, yang artinya adalah “Segala sesuatu yang
menghubungkan benda dengan benda lainnya”.Menurut istilah adalah segala sesuatu
yang mengantar pada tujuan. Ada juga yang mendefinisikan dengan “Jalan menuju
terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu”.
Kata wurud(sampai,muncul)
berarti “Air yang memancar atau yang mengalir”. Dalam pengertian yang lebih
luas As-Suyuti merupakan pengertian asbab al-wurud al-hadits dengan “Sesuatu
yang membatasi arti suatu hadits, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus,
mutlaq atau muqqayyat, dinasakhkan, dan seterusnya atau suatu arti yang
dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya”.
Dari pengertian diatas , dapat
dibawa pada pengertian ilmu Asbaab Al-wurut Al-Hadits, yakni suatu ilmu yang
membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW. menuturkan sabdanya dan saat beliau
menuturkannya, seperti sabda Rasulullah SAW. Tentang suci dan menyucikan air
laut, yaitu “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.Hadits ini dituturkan
oleh Rasulullah SAW.ketika seorang sahabat yang sedang berada ditengah laut
mendapatkan kesulitan untuk berwudlu’. Contoh lain adalah hadits tentang niat
yang dituturkan berkenaan dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW. Ke
Madinah. Salah seorang yang ikut hijrah karena ingin menikahi wanita yang bernama
Ummu Qais.
Urgensi asbab wurud terhadap
hadits sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadits, sama halnya
dengan urgensi asbab nuzul Al-Quran terhadap Al-Quran. Ini terlihat dari
beberapa faedahnya, antara lain dapat mentaksis arti yang umum, membatasi arti
yang mutlaq, menunjukkan perincian terhadap yang mujmal,menjelaskan
kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum. Maka dengan memahami ilmu Asbab
Wurud Al-Hadits ini, makna yang dimaksud atau dikandung oleh suatu hadits dapat
dipahami dengan mudah.Namun demikian, tidak semua hadits mempunyai asbab
al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Quran memiliki asbab
an-nuzulnya.Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memehami
hadits, sebagaimna ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran.
Ulama yang mula-mula menyusun
kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat adalah Abu Hafas Ibnu Umar Muhammad
Ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad(309 H), Ibrahim Ibnu Muhammad, yang
terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al-Husaini(1120 H), dalam kitabnya
Al-Bayan Wa At-Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H.
7. ILMU MUKHTALIF AL-HADITS
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah
ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menurut lahirnya saling
bertentangan atau berlawanan agar pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau
dapat dikompromi antara keduanya sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit
dipahami isi atau kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau
kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian di atas dapat
dipahami bahwa dengan menguasai ilmu Mukhtalif Al-Hadits, maka hadits-hadits
yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu
sendiri. Begitu juga kemusykilannya yang terlihat dalam suatu hadits dapat
dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa ilmu tersebut membahas tentang cara mengumpulkan
hadits-hadits yang isinya bertentangan.
Cara mengumpulkannya adakalanya
dengan menakhsiskan yang ‘am, atau menaqyidkan yang mutlaq, atau dengan
memandang banyaknya yang terjadi. Para ulama yang telah berusaha menyusun ilmu
ini antara lain Al-Imamusy Syafii(204 H), Ibnu Qurtaiba(276 H),
At-Tahawi(321 H), dan Ibnu Jauzi(597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq,
kitab ini sudah disarahkan oleh Al-Ustad Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali
nilainya.
Nama laindari ilmu tersebut
antara lain: Musykil al-hadits, Takwil al-hadits, Talfiq al-hadits, danIkhtilaf
al-hadits. Semua nama di atas memiliki maksud dan arti yang sama.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan singkat di atas tentang cabang-cabang ilmu hadits, terdapat banyak
perbedaan dalam referensi yang telah diangkat.Dan yang telah ditulis dalam
makalah ini berjumlah tujuh cabang.Dengan mempelajari berbagai macam ilmu
hadits serta perkembangannya dari masa kemasa tentunya akan semakin memberikan
pemahaman kepada siapapun bagaimana kedudukan sebuah hadits baik dilihat dari
sisi rawi, matan ataupun kedudukan sebuah hadits.
B.
DAFTAR PUSTAKA
a. Lihat
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits ( Bandung : Angkasa, 1991), hal. 61;
Bandingkan pula dengan Prof. Dr. H. M. Nur Sulaiman (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2008) hal. 76
b. Dr.
Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits ( Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 68
c. Lihat
ibid, hal 71-72 dan 77. Bandingkan dengan Utang Ranuwijaya, Drs, dan Mundzir
Suparta, Drs. Ilmu Hadits (Jakarta : Raja Grafindo, 1993) hal. 24
d. Majid
Khon. Dr. Op.cit, hal. 78-79
e. Fathur
Rahman, Drs. Ikhtisar Musthalah hadits (Bandung : al-Ma’arif, 1985) hal. 245
f. Fathur
Rahman, Drs. Ibid , hal . 258-273
g. Dr.
Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 85
h. Syuhudi
Ismail, Dr. Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
hal. 77-80
i. Fathur
Rahman, Drs. Op.cit, hal . 298-304
j. Fathur
Rahman, Drs. ibid, hal . 291-293
k. Fathur
Rahman, Drs. ibid, hal . 286-289
l. Edi
Safri, Al-Imam al-Syafi'i, Metode penyelesaian Hadis Mukhtalif (Disertasi: IAIN
Jakarta, 1990) h. 152-206.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar