Sunday 6 December 2015

PERKEMBANGAN ILMU HADITS DAN CABANG-CABANG ILMU HADITS



MAKALAH
ULUMUL HADITS
PERKEMBANGAN ILMU HADITS DAN 
CABANG-CABANG ILMU HADITS
Di ajukan  Sebagai Tugas kelompok
Dosen Pengampu :AtipPurnama, S.Hi


Kelompok2 :
Ubun Bunyamin
Rida Diniah
Nia Herlina
Yulia Susanti


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

MUHAMMADIYAH GARUT

2014



Kata Pengantar



Asslamu'alaikum Wr. Wb.

Shalawat serta salam semoga tercurah selalu kepada junjungan kita sekalian Nabi Muhammad SAW.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan serta pengertian ilmu hadits adalah suatu cabang ilmu yang sangat penting untuk dipelajari oleh semua kalangan umat islam tetapi bukan suatu hal yang , mudah untuk mencapai apa yang menjadi kewajiban kita sekalian dalam mempelajarinya. 

Dengan ini kami memberanikan diri untuk menyampaikan secara singkat tentang Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan serta pengertian cabang-cabang ilmu hadits, tentunya masih banyak kekurangan dalam penulisan ini. Kami senantiasa menanti adanya kritik dan saran membangun dalam penulisan makalah ini demi kemajuan kita bersama.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

                                                                                                            Garut April 2014
                        Penyusun











DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………….
i
Daftar Isi ………………………………………………………………..
ii


BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………..
A.    LATAR BELAKANG …………………………………………….
B.     RUMUSAN MASALAH …………………………………………
C.     TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN ………………………

1
1
2
2
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………...
A.    Pengertian Ilmu Hadits ……………………………………………
B.     Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits …………...
1.      Masa Klasik …………………………………………………...
2.      Masa Pertengahan ……………………………………………..
3.      Masa Modern …………………………………………….....
C.     Cabang-Cabang Ilmu Hadits ……… 
1.      Ilmu Rijal Al-Hadits …………………………………………..
2.      Ilmu Jarh WaTa’dil …………………………………………..
3.      Ilmu Tarikh Ar-Ruwah ……………………………………......
4.      Ilmu Illal Al-Hadits …………………………………………...
5.      Ilmu An-Naskh Wa Al-Mansukh ……………………………..
6.      IlmuAsbab Al-Wurud Al-Hadits ……………………………..
7.      Ilmu Mukhtalif  Al-Hadits …………………..……………......
2
2
6
6
9
9
10
10
12
14
14
15
16
17

BAB III PENUTUP …………………………………………………….
A.    KESIMPULAN …………………………………………………...
B.     DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………..
18
18
18






BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits Nabi memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman.Namun karena pembukuan hadits baru dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi, ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadits yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Pada sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan startingpoint  oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadits Nabi. Lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis.Karena itu keabsahan dan orisinalitas hadits yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits Nabi.Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadits Nabi sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadits. Tanpa pemahaman yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadits Nabi.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadits akan mampu meneliti dan memahami hadits secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam meneliti dan memahami hadits, maka ulama hadits, sesuai  dengan keahlian masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat ilmu. Cabang-cabang pengetahuan itu ada yang berhubungan dengan sanad, ada yang berhubungan dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan matan.Karena berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan yang berkaitan dengan hadits begitu banyak, maka dengan sendirinya jumlah dan jenis kitab yang membahas hadits Nabi juga begitu banyak.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Ilmu Hadits;
2.      Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits;
3.      Pengertian Cabang – Cabang Ilmu Hadits.

C.    TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1.Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang pengertian Ilmu Hadits;
2. Memberikan informasi Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits yang terbagi dalam tiga masa, yaitu :
2.1.      Masa Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
2.2.      Masa Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
2.3.      Masa Modern (Abad 14 H samapai Sekarang)      
3. Memberikan pemahaman dan pengertian tentang Cabang-Cabang Ilmu Hadits.


BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Ilmu Hadits
Ilmu hadits (Ulum al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadits. Secara etimologis, seperti yang telah diungkapkan oleh As-Suyuti, ilmu hadits adalah
Ų¹ِŁ„ْŁ…ٌ ŁŠُŲØْŲ­َŲ«ُ ŁِŁŠْŁ‡ِ Ų¹َŁ†ْ ŁƒَŁŠْŁِŁŠَŲ©ِ Ų„ِŲŖِّŲµَŲ§Ł„ِ Ų§ْŁ„Ų­َŲÆِŁŠْŲ«ِ ŲØِŲ±َŲ³ُŁˆْŁ„ِ Ų§Ł„Ł„Ł‡ِ Ųµ. Ł…. Ł…ِŁ†ْ Ų­َŁŠْŲ«ُ Ų£َŲ­ْŁˆَŲ§Ł„ِ Ų±ِŁˆَŲ§ŲŖِŁ‡ِ Ų¶َŲØْŲ·ًŲ§ ŁˆَŲ¹َŲÆَŲ§Ł„َŲ©ً ŁˆَŁ…ِŁ†ْ Ų­َŁŠْŲ«ُ ŁƒَŁŠْŁِŁŠَّŲ©ِ Ų§Ł„Ų³َّŁ†َŲÆِ Ų§ِŲŖِّŲµَŲ§Ł„Ų§ً ŁˆَŲ§Ł†ْŁ‚َŲ·َŲ§ Ų¹ًŲ§ ŁˆَŲŗَŁŠْŲ±ِ Ų°Ł„ِŁƒَ.
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut kedhobitan dan keadilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya”.
Prof. Dr. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy yang dikutip oleh Abdullah Karim, mendefinisikan Ulum  al-Hadits adalah ilmu-ilmu yang berpautan dengan hadits. Semua ilmu yang berkaitan dengan hadits, dapat diistilahkan dengan ilmu hadits, yang bentuk jamaknya adalah Ulum al-Hadits.Walaupun macam ilmu-ilmu hadits itu banyak, namun dapat dikategorikan pada dua rumpun ilmu, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.

1.      Ilmu Hadits Riwayah
Kata riwayah artinya meriwayatkan, menceritakan, memindahkan. Menurut para ulama yang dikutip oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat adalah suatu macam ilmu tentang meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan-perbuatannya, taqrir-taqrirnya dan sifat-sifatnya. Karena ilmu ini sifatnya hanya mengumpulkan hadits-hadits saja tanpa memeriksa sah atau tidaknya yang orang sandarkan kepada Nabi SAW.
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi dalam bukunya Nawir Yuslem, bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah adalah:
 Ų¹ِŁ„ْŁ…ُ Ų§ْŁ„Ų­َŲÆِŁŠْŲ«ِ Ų§ْŁ„Ų®َŲ§ Ųµُّ ŲØِŲ§Ł„Ų±ِّŁˆَŲ§ŁŠَŲ©ِ Ų¹ِŁ„ْŁ…ٌ ŁŠَŲ“ْŲŖَŁ…ِŁ„ُ Ų¹َŁ„َŁ‰ Ł†َŁ‚ْŁ„ِ Ų£َŁ‚ْŁˆَŲ§Ł„ِ Ų§Ł„Ł†َّŲØِŁŠِّ ŲµَŁ„َّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ُ Ų¹َŁ„َŁŠْŁ‡ِ ŁˆَŲ³َŁ„َّŁ…َ ŁˆَŲ£َŁْŲ¹َŲ§Ł„ِŁ‡ِ ŁˆَŲ±ِŁˆَŲ§ŁŠَŲŖِŁ‡َŲ§ ŁˆَŲ¶َŲØْŲŖِŁ‡َŲ§ ŁˆَŲŖَŲ­ْŲ±ِŁŠْŲ±ِ Ų£ْŁ„ŁَŲ§ŲøِŁ‡َŲ§.
“Ilmu hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya”.

Definisi yang hampir senada juga dikatakan oleh Zafar Ahmad Ibn Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam bukunya Qawa’id fi Ulum al-Haditsnya;
Ų¹ِŁ„ْŁ…ُ Ų§ْŁ„Ų­َŲÆِŁŠْŲ«ِ Ų§ْŁ„Ų®َŲ§ Ųµُّ ŲØِŲ§Ł„Ų±ِّŁˆَŲ§ŁŠَŲ©ِ Ł‡ُŁˆَ: Ų¹ِŁ„ْŁ…ٌ ŁŠُŲ¹ْŲ±َŁُ ŲØِŁ‡ِ Ų£َŁ‚ْŁˆَŲ§Ł„ِ Ų±َŲ³ُŁˆْŁ„ِ Ų§Ł„Ł„Ł‡ِ ŲµَŁ„َّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ُ Ų¹َŁ„َŁŠْŁ‡ِ ŁˆَŲ³َŁ„َّŁ…َ ŁˆَŲ£َŁْŲ¹َŲ§Ł„ُŁ‡ُ Łˆَ Ų£َŲ­ْŁˆَŲ§Ł„ُŁ‡ُ ŁˆَŲ±ِŁˆَŲ§ŁŠَŲŖُŁ‡َŲ§ ŁˆَŲ¶َŲØْŲ·ُŁ‡َŲ§ ŁˆَŲŖَŲ­ْŲ±ِŁŠْŲ±ُŲ£َŁ„ْŁَŲ§ŲøِŁ‡َŲ§.
“ Ilmu hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan , perbuatan dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya”. 

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa ilmu hadits riwayah pada dasarnya membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
Ilmu hadits riwayah ini sudah ada semenjak Nabi SAW masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadits itu sendiri. Para sahabat Nabi SAW menaruh perhatian yang tinggi terhadap hadits Nabi, mereka berupaya untuk memperoleh hadits Nabi SAW dengan cara mendatangi majlis Rasul SAW serta mendengar serta menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau.
Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadits riwayah adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H), seorang imam dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam sebagai ulama pertama yang menghimpun hadits Nabi SAW, atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99 H/717 M-102 H/720 M).
Adapun faedah dengan adanya ilmu hadits riwayah adalah
a.       Supaya kita dapat membedakan mana yang orang sandarkan kepada Nabi SAW dan mana yang disandarkan kepada selain beliau.
b.      Agar supaya hadits tidak beredar dari mulut kemulut atau dari satu tulisan ke tulisan yang lain tanpa sanad.
c.       Agar dapat diketahui jumlah hadits yang orang sandarkan kepada Nabi SAW.
d.      Agar dapat diperiksa sanad dan matan-nya sah atau tidaknya.

2.      Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah ialah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan, untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak.
Definisi yang lain seperti halnya yang diungkapkan oleh Izzuddin bin Jama’ah yang dikutip oleh M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi  adalah:
Ų¹ِŁ„ْŁ…ُ ŲØِŁ‚َŁˆَŲ§Ł†ِŁŠْŁ†َ ŁŠُŲ¹ْŲ±َŁُ ŲØِŁ‡َŲ§ Ų£َŲ­ْŁˆَŲ§Ł„ُ Ų§Ł„Ų³َّŁ†َŲÆِ ŁˆَŲ§ْŁ„Ł…َŲŖْŁ†ِ.
“Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”

Ibnu al-Akfani yang dikutip oleh Munzier Suparta mendefinisikan ilmu hadits dirayah sebagai berikut:
Ų¹Ł„Ł… ŁŠŲ¹Ų±Ł Ł…Ł†Ł‡ Ų­Ł‚ŁŠŁ‚Ų© Ų§Ł„Ų± ŁˆŲ§ŁŠŲ© ŁˆŲ“Ų±ŁˆŲ·Ł‡Ų§ ŁˆŲ£Ł†ŁˆŲ§Ų¹Ł‡Ų§ ŁˆŲ£Ų­ŁƒŲ§ Ł…Ł‡Ų§ ŁˆŲ­Ų§Ł„ Ų§Ł„Ų±ŁˆŲ§Ų© ŁˆŲ“Ų±ŁˆŲ·Ł‡Ł… ŁˆŲ§ŲµŁ†Ų§Ł Ų§Ł„Ł…Ų±ŁˆŁŠŲ§ ŲŖ ŁˆŁ…Ų§ ŁŠŲŖŲ¹Ł„Ł‚ ŲØŁ‡Ų§.
“Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya”.  
Yang dimaksud dengan:
-          Hakikat periwayatan adalah penukilan hadits dan penyandarannya kepada sumber hadits atau sumber berita.
-    Syarat-syarat periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap hadits yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti melalui al-Sama’(pendengaran), al-Qira’ah (pembacaan), al-Washiah (berwasiat), al-Ijazah (pemberian izin dari perawi).
-    Macam-macam periwayatan adalah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan dan lain-lain.
-    Hukum-hukum periwayatan adalah pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu hadits.
-      Keadaan para perawi ialah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
-     Macam-macam hadits yang diriwayatkan meliputi hadits-hadits yang dapat dihimpun pada kitab-kitab hadits.
Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat rawi dan lain-lain. Dan ilmu hadits dirayah inilah yang pada masa selanjutnya secara umum dikenal dengan ulumul hadits, musthalah al-hadits atau ushul al-hadits.keseluruhan nama-nama tersebut meskipun bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi (sanad) dan marwi (matan) suatu hadits, dari segi diterima dan ditolaknya.
Ilmu hadits dirayah mulai dibahas pada pertengahan abad ke-2 H. Akan tetapi pada waktu itu masih belum merupakan ilmu yang berdiri sendiri. Buku-buku yang berkaitan dengan ilmu ini antara lain ditulis oleh Aliy Ibnu al-Madini (161-234 H), al-Bukhari (198-252 H), at-Turmuzi (200-279 H). Ilmu ini mulai ditulis dalam sebuah buku secara khusus oleh al-Qadi Ibnu Muhammad ar-Ramahhurmuzi (265-360 H) dengan judul al-Muhaddis al-Fasil Bayn ar-Rawi wa al-Wa’iy. Kemudian disusul oleh al-Hakim Abu Abdillah Abu Abdillah an-Naysaburi (321-405 H), selanjudnya Abu Nu’aym al-Isbahani, berikutnya al-Khatib Abu Bakr al-Bagdadi (w. 463 H) dan lain-lain.
Adapun tujuan dan faedah ilmu hadits dirayah adalah:
1.      Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits da ilmu hadits dari masa ke masa sejak masa Nabi SAW sampai sekarang.
2. Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits.
3.Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4.      Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam menentukan suatu hukum syara’.
Dengan melihat uraian ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah di atas, tergambarkan adanya kaitan yang sangat erat, antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena, setiap ada periwayatan hadits tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai dan diperlukan, baik dalam penerimaannya maupun penyampaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perjalanan ilmu hadits riwayah, ilmu hadits dirayah juga terus berkembang menuju kesempurnaannya sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan langsung dengan perjalanan hadits riwayah.Oleh karena itu, tidak mungkin ilmu hadits riwayahberdiri tanpa ilmu hadits dirayah, begitu juga sebaliknya.     
 
B.     Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat, terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu secara langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Uraian berikut akan menitkberatkan sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits menjadi tiga periodesasi yaitu awal lahirnya ilmu hadits sampai pada masa kekininan.


1.      Masa Klasik (Masa Nabi SAW sampai Abad 7 H)
Hadits-hadits Nabi yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara dimasa Nabi SAW dahulu.Apa yang telah diterima oleh sahabat dari Nabi SAW disampaikan pula oleh mereka kepada sahabat lain yang tidak hadir ketika itu, dan selanjutnya mereka menyampaikannya kepada generasi berikutnya dan demikianlah seterusnya hingga sampai kepada perawi terakhir yang melakukan kodifikasi hadits.
Cara penerimaan hadits dimasa Nabi SAW tidak sama dengan penerimaan hadits di masa generasi sesudahnya. Penerimaan hadits dimasa Nabi SAW dilakukan oleh sahabat dekat beliau, seperti Khulafa’ al-Rasyidin dan dari kalangan sahabat lainnya. Para sahabat Nabi mempunyai minat yang besar untuk memperoleh hadits Nabi SAW, oleh karenanya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW agar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau lihat secara langsung. Apabila diantara mereka ada yang berhalangan, maka mereka mencari sahabat yang kebe Ketigatulan mengikuti atau hadir bersama Nabi SAW ketika itu untuk meminta apa yang mereka peroleh dari beliau.
Pada masa ini kritik atau penelitian terhadap suatu riwayat (hadits) yang menjadi cikal bakal ilmu hadits terutama ilmu hadits dirayah  dilakukan dengan cara yang  sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu-ragu menerima suatu riwayat dari sahabat lainnya, ia segera menemui Nabi SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya untuk mengonfirmasikannya. Setelah itu, barulah ia menerima dan mengamalkan hadits tersebut.
Pada masa Sahabat yang dimulai dari khalifah  Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, begitu pula dengan khalifah-khalifah sesudahnya, terus menjunjung tinggi hadits-hadits Nabi SAW. Adapun perhatian khulafa al-rasyidin terhadap hadits pada dasarnya adalah:
a.       Para khulafa al-rasyidin dan para sahabat berpegang bahwa hadits adalah dasar Tasyri’, maka setiap amalan syariat Islam selalu berpedoman kepada hadits disamping al-Quran yang menjadi dasar hukum umat Islam.
b.      Para sahabat berusaha mentablighkan segala hadits yang diterima mereka.
Namun periwayatan hadits dipermulaan masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, masih terbatas sekali disampaikan kepada yang memerlukan saja , belum bersifat pelajaran.
Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni:
a.       Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
b.      Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.
Suasana masyarakat masa khulafa al-rasyidin terutama pada masa Abu bakar mengalami pesoalan-pesoalan, diantaranya murtadnya orang sepeninggalan Nabi SAW, maka para sahabat berhati-hati dalam periwayatan sebuah hadits, dan mengambil langkah berupa:
a.       Menyedikitkan riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadits dalam batas kadar kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengalaman agama.
b.      Menapis dalam penerimaan hadits, yakni meneliti keadaan rawi setiap hadits, apakah cukup adil atau masih meragukan, hadits mutawatir atau masyhur. Terkadang kalau menerima hadits yang diragukan, para sahabat meminta saksi, keterangan-keterangan yang bisa menyakinkan.
c.    Melarang meriwayatkan secara luas hadits yang belum dapat difahami sacara umum.

Dalam masa sahabat ini, perkembangan penelitian hadits menyangkut sanad maupun matan hadits semakin menampakkan wujudnya, dalam rangka menjaga kemurnian sebuah hadits, seperti halnya yang telah dilakukan khalifah pertama Abu Bakar yang diikuti sahabat sesudahnya, yaitu tidak mau menerima suatu hadits yang disampaikan seseorang, kecuali yang bersangkutan mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikanya. Kecuali sahabat Ali r.a memiliki persyaratan tersendiri dalam menerima suatu hadits, yaitu orang yang menyampaikan sebuah hadits harus bersedia disumpah atas kebenaran riwayat yang dibawanya.  
Perinsip dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Di antara tokoh tabiin yang terkenal dalam bidang ini adalah Sa’id bin Mussab (15-94 H), Al-Hasan Al-bashri (21-110 H), Amir bin Syurahbi Asy-sya’bi (17-104 H) dan Muhammad bin Sirin (w. 110 H).   
Dalam catatan sejarah menurut Ibn Hajar Al-Asqalani, ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadits dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Al-Qadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil baina Ar-Rawi wa Al-Wa’i. Kitab ini pada masa itu merupakan kitab yang paling populer dan terlengkap, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan lagi oleh para ulama-ulama berikutnya.    
Kemudian muncul ulama-ulama muhaditsin lainnya seperti Al-Hakim Abu Abdillah (405 H), yang mengarang kitab Ma’rifah Ulumil Hadits, yang isinya membagi ilmu hadits menjadi 50 macam. Sesudah itu dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani (430 H), yang menambah beberapa pembahasan yang telah dibahas oleh Al-Hakim. Kemudian Al-Khathieb Al-Baghdad (463 H), beliau mengarang beberapa macam kitab ilmu hadits, yang dijadikan rujukan oleh ulama-ulama yang datang sesudahnya. Seperti dalam masalah Qawaninur Riwayat (aturan-aturan periwayatan), beliau menyusun kitab Al-Kifayah fi Qawaninur Riwayah dan dalam masalah adab-adab riwayat beliau menyusun kitab Al-Jami’ li Adabibsy Syaikh was Sami’.    
Setelah itu ada Al-Qadli Iyadl (544) yang menyusun kitab Al-Ilma’ yang pembahasannya diambil dari kitab-kitab Al-Khathieb dan setelah itu bermunculan ulama-ulama yang menyusun ilmu seperti ini, seperti Al-Hafidh Taqiyuddin Abu Amer Utsman Ibnush Shalah Ad Dimasyqi (642 H), dalam kitabnya Muqaddamah Ibnush Shalah atau Ulumul Hadits yang dajarkan kepada murid-muridnya di perguruan Al-Asyrafiyah di Damaskus. Kitab ini dinadhamkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Al-Iraqi dalam Alfiyahnya yang kemudian disyarahkan olehnya sendiri dalam kitab Fathul Mughits dan oleh Al Hafidh As Sakhawy. Ada juga ulama yang mengikhtisarkan seperti An Nawawy dalam kitabnya Al-Irsyad yang diringkas dalam kitab At-Taqrib yang selanjutnya disyarahkan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya At Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Demikian perkembangan ilmu hadits pada abad ini yang kemudian di sempurnakan kembali oleh ulama-ulama yang datang belakangan. 

2.      Masa Pertengahan (Abad 7 H sampai Abad 14 H)
Ulama pada abad ini mencoba untuk menyempurnakan atas kitab-kitab yang telah ditulis oleh ulama-ulama sebelumya seperti kitab Mukhtasar Muqaddamah Ibnush Shalah yang paling baik ialah Ikhtishar Ulumil Hadits yang ditulis oleh Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad Dimasyqi (774 H), yang kemudian disyarahkan oleh Al-Allamah Ahmad Muhammad Syakiz dalam kitab Al Ba’atsul Hatsits ala Ma’rifati Ulumil Hadits
Dan dalam kitab Nukhbatul Fikar fi Mushtalahi Ahli Al-Atsar karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (852 H), merupakan kitab kecil yang diringkasan namun termasuk ringkasan yang paling bagus dan paling baik susunan dan pembagiaanya, serta telah disyarahkan oleh penyusunnya sendiri dalam kitab Nuzhatu An-Nazhar.
Muhammad bin Abdirrahman As-Sakhawi (902 H), juga menulis kitab tentang ilmu hadits dalam sebuah karyanya dalam kitab Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyati Al-Hadits yang merupakan syarah paling lengkap atas kitab Alfiyah Al-Iraqi.  Dan kitab Fathul Baqi ala Alfiyati Al-Iraqi karya Al-Hafizh Zainuddin As-Syaikh Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria Al-Anshari (925 H).
                          
3.      Masa Modern (Abad 14 H samapai Sekarang)      
Perkembangan ilmu hadits abad demi abad terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan pada abad ini yang terus menulis ilmu hadits dari ulama muhaditsin adalah Asy-Syaikh Thahir Al-Jaziry (1338 H) dalam kitabnya Taujihun Nadhar ila Ilmi Usulil Atsar, salah satu kitab yang mempunya nilai tinggi dalam ilmu hadits dan As-Sayid Jamaluddin Al-Qasimy (1332 H) dengan kitabnya QawaidutTahdits fi Fununil Hadits, suatu kitab yang banyak faedahnya dan sangat tertib susunannya.
Ulama kontemporer yang masih bergelut membahas dan mendalami ilmu hadits adalah Dr. Mahmud At-Thahhan dalam karyanya yang berjudul Taisir Musthalah Al-Hadits.  
Demikianlah perkembangan ilmu hadits yang mengalami kemajuan dari waktu kewaktu untuk menjadi sebuah ilmu yang sempurna.     

C.     Cabang-Cabang Ilmu Hadits

Dari ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah ini, pada perkembangan berikutnya muncullah cabang-cabang ilmu hadits lainnya, seperti ilmu Rijal al-hadits, ilmu Jarh wa Ta’dil, ilmu Tarikh ar-ruwah, ilmu Illal al- hadits, ilmu Nasakh Mansuhk, ilmu Asbab al-wurut al-hadits dan ilmu Mukhtalif al-hadits. Secara singkat cabang-cabang tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1. ILMU RIJAL AL-HADITS
Ilmu Rijalal-hadits adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari kalangan sahabat, tabiin, maupun dari angkatan sesudahnya.Dengan ilmu ini kita dapat mengtahui keadaan para perawi yang menerima hadits dari rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.Didalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadits.
Ilmu tersebut sangat penting untuk dipelajari dengan seksama dalam lapangan ilmu hadits, karena obyek kajian dalam hadits pada dasarnya terletak pada dua hal yaitu sanad dan matan.Maka mengetahui mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan. 
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini  beragam, ada yang hanya menerangkan tentang riwayat-riwayat singkat dari para sahabat saja, ada yang menerangkan tentang riwayat-riwayat umum para perawi, ada yang menerangkan tentang perawi-perawi yang dipercaya saja, ada yang menerangkan tentang riwayat-riwayat para perawi yang lemah, para mudallis atau para pemuat hadits Maudlu’, ada yang menerangkan tentang sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil seorang rawi dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan. Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang didalam ilmu hadits disebut mu’talif dan mukhtalif, ada yang menerangkan tentang nama-nama perawi yang sama berbeda orangnya seperti Khalil Ibnu Ahmad, nama ini dimiliki banyak orang. Dalam istilah dikatakan muttafiq dan muftariq, dan ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan dan sebutan, akan tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa, sti Muhammad Ibnu Aqil dan Muhammad Ibnu Uqail. Hal tersebut dalam istilah adalah musytabah.Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.Disamping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdaptat dalam satu kitab saja.Dan semua kitab-kitab tersebut telah disusun oleh para ulama hadits.
Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat adalah Imam Al-Bukhari(256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saat. Setelah itu terdapat beberapa ahli lagi diantaranya Ibnu Abdil Barr(463 H) dengan kitabnya yang bernama Al-Istiab. 
Pada permulaan abad ke-7 Hijriyah, Izzuddin Ibnu Atsir(630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah tersusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang bernama Usdul Gabah. Ibnu Atsir adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang kitab An-Nihayah fi Garibil Hadits. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Az-Dzahabi(747 H) dalam kitab At-Tajrid. 
Sesudah itu pada abab ke-9 Hijriyah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Ishabah. Kitab tersebut berupa kumpulan dari Al-Istiab dengan Usdul Gabah dan ditambah dengan pembahasan lain yang tidak terdapat didalamnya. Kitab ini telah diringkas oleh Imam As-Suyuti dalam kitab Ainul Ishabah. 
Al-Bukhari dan Muslim telah menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan suatu hadits saja yang dalam istilah disebut wuzdan.Kemudian dalam bab ini Yahya Ibnu Abdul Wahab Ibnu Mandah Al-Asbahani(551 H) menulis sebuah kitab yang menerangkan tentang nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.
2. ILMU JARH WA TA’DIL
Pada hakikatnya ilmu jarh wa Ta’dil merupakan suatu bagian dari ilmu Rijal al-hadits, akan tetapi bagian tersebut dipandang sebagai bagian terpenting dalam hadits maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. 
Ilmu Jarh wa Ta’dil  terdiri dari al-jarh dan at-ta’dil. Al-Jarh menurut bahasa berarti luka atau cacat sedang menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari tentang kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedabitannya. Para ahli hadits mendefinisikan al-jarh dengan: ”Kecacatan para perawi hadits karena sesuatu yang dapat merusak keadilan dan kedabitannya”
At-Ta’dil menurut bahasa berarti at-tasywiyah(menyamakan), sedang menurut istilah adalah lawan dari al- Jarh yaitu pembersian dan panyucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dabit. Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-Ta’dil dalam satu definisi, yakni: ”Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafad tertentu”  
Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui keadilan atau kedabitan para perawi, antara lain:
vFulan orang yang paling dipercaya
vFulan kuat hafalannya
vFulan hujjah
Contoh ungkapan tertentu untuk mengetahui kecacatan para perawi, antara lain:
vFulan orang yang paling berdusta
vFulan tertuduh dusta
vFulan bukan hujjah
Menurut keterangan Ibnu Adi(365 H) dalam muqaddimah kitab Al-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan para perawi hadits yaitu Ibnu Abbas(68 H), Ubadah Ibnu Shamit(34 H) dan Anas Ibnu Malik(93 H). 
Di antara tabi’in yaitu Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin(110 H), Said Ibnu Al-Musaiyab(94 H).Dalam masa mereka masih sedikit orang yang dipandang cacat dan pada abad ke-2 Hijriyah banyak ditemukan orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena menyampaikan hadits, mengangkat hadits yang sebenarnya adalah hadits Mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja seperti Abu Harun Al-Abdari(143 H).
Setelah masa tabiin yaitu pada tahun 150 Hijriyah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi, menakdil dan menajrih mereka. Diantara ulama besar yang ikut memberikan perhatian   dalam masalah tersebut yaitu Yahya Ibnu Said Al-Qattan(189 H), Abdur Rachman Ibnu Mahdi(198 H), Yazid Ibnu Harun(189 H) dll.  Dan barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarh dan ta’dil yang di dalam kitab tersebut  tentang keadaan para perawi boleh atau tidaknya riwayat yang disampaikan. Di antara pemuka-pemuka jarh dan ta’dil yaitu Yahya Ibnu Main(233 H), Ahmad Ibnu Hanbal(241 H), Muhammad Ibnu Saat(230 H) dll. Kemudian pada setiap masa terdapat para ulama yang memperhatikan keadaan perawi hingga sampai pada masa Ibnu Hajar Asqalani(852 H).
Kitab-kitab tentang jarh dan ta’dil yang disusun sangat beragam. Ada yang menerangkan tentang  orang-orang yang dipercaya saja, ada yang nenerangkan  tentang orang-orang yang lemah saja dan ada juga kitab yang melengkapi semuanya. Kitab tersebut adalah kitab Tabaqat yang di karang oleh Muhammad Ibnu saat Az-Zuhri Al-Basari(230 H), Ali Ibnu Madini(234 H), Imam Al-Bukhari, Muslim, Al-Hariwi(301 H) dan Ibnu Hatim(327 H). Yang sangat berguna bagi ahli haduts dan fiqih adalah kitab At-Takmil susunan Imam Ibnu Katsir. 
Di antara kitab-kitab yang membahas tentang orang-orang yang dapat dipercaya yaitu kitab As-Siqat karangan Al-Ajaly(261 H), As-Siqat karangan Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busty yang menerangkan tentang tingkatan para penghafal dan ada juga ulama lain yang menyusun seperti kitab tersebut di antaranya Az- Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti. Sedang kitab-kitab yang membahas tentang kecacatan seorang perawi antara lain yaitu Ad-Duafa karangan Imam Al-Bukhari dan kitab Ad-Duafa karangan Ibnu Jauzi.
3. ILMU TARIKH AR-RUWAH
Ilmu Tarikh ar-ruwah adalah ilmu yang membahas tentang keadaan dan identitas perawi seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan hadits dari dirinya, tempat tingga mereka, tempat mereka mengadakan lawatan dll. Ilmu ini untuk mengetahui para perawi hadits yang berkaitan dengan usaha atau cara periwayatan mereka terhadap hadits.
Sebagai bagian dari ilmu rijal al-hadits, ilmu ini mengkhususkan pembahasanya secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.Adapun hubungan antara ilmu tersebut dan ilmu tabaqah ar-ruwah, terdapat beberapa pendapat di antara para ulama.Ada ulama yang membedakannya dan ada juga yang menyamakannya.Menurut  As-Suyuti, hubungan antara tabaqah ar-ruwah dan tarikh ar-ruwah adalah umum dan khusus. Keduanya bersatu dalam pengertian yang berkaitan dengan para perawi,tetapi ilmu tarikh ar-ruwah menyendiri dalam hubungannya dengan kejadian- kejadian yang baru. Menurut As-Sakhawi, para ulama mutakhirin membedakan antara kedua disiplin ilmu tersebut. Menurut mereka, ilmu tarikh ar-ruwah melalui eksistensinya berfungsi untuk memperhatikan kelahiran dan wafat para perawi dan melalui sifatnya, berfungsi untuk memperhatikan hal ihwal para perawi.Adapun ilmu tabaqah ar-ruwah, melalui eksistensinya, berfungsi untuk memperhatikan hal ihwal perawi dan melalui sifatnya berfungsi untuk memperhatikan kelahiran dan kapan mereka wafat.
4. ILMU ILLAL AL-HADITS
Kata illal adalah bentuk jamak dari kata al-illah yang menurut bahasa berarti al-marad (penyakit atau sakit). Menurut ulama Muhadditsin , istilah illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar yang dapat mencemarkan hadits, sehingga hadits tersebut tidak terlihat cacat. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Illah Al-Hadits menurut ulama Muhadditsin adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan muttasil terhadap hadits yang munqati’, menyebut marfu’ pada hadits yang mauquf, memasukkan hadits kepada hadits lain dll. 
Abu Abdullah Al-HakimAn-Naisaburi dalam kitabnya Ma’rifah Ulum Al-Hadits menyebutkan bahwa ilmu Illah Al-Hadits adalah ilmu yang berdiri sendiri, selain dari ilmu yang sahih dan dhaif, jarh dan ta’dil. Ia menerangkan , illat hadits tidak termasuk dalam bahasan jarh sebab hadits yang majrub adalah hadits yang gugur dan tidak dipakai. Illat hadits yang banyak terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan yaitu orang-orang yang menceritakan suatu hadits yang mengandung illat tersembunyi.Karena illat tersebut maka haditsnya disebut hadits ma’lul.Lebih jauh lagi, Al-Hakim menyebutkan bahwa dasar penetapan illat hadits adalah hapalan yang sempurna, pemahaman yang mendalam, dan pengetahuan yang cukup.
Di antara ulama yang menulis ilmu tersebut yaitu Ibnu Madini(234 H), Ibnu Abi Hatim(327 H), kitab beliau sangat baik yang bernama kitab Illail Hadits. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah Imam Muslim(261 H), Ad-Darqutni(357 H) dan Muhammad Ibnu AbdillahAl-Hakim.
5. ILMU AN-NASAKH WA AL-MANSUKH
Kata an-nasakh menurut bahasa adalah mempunyai dua pengertian yaitu izalah(menghilangkan) dan an-naql(nenyalin). Pengertia an-nasakh menurut bahasa dapat ditemukan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 106. Sedang menurut istilah sebagian pendapat ulama ushul adalah “syari’ mengangkat(membatalkan) suatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’I yang datang kemudian”. Konsekuensi dari pengertian ini adalah bahwa menerangkan nash yang mujmal, menasikhkan yang ‘am, dan mentaqyidkan yang mutlaq tidaklah dikatakan nasakh.
Yang dimaksud ilmu Nasakh wa Mansukh dalam ilmu hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang dating kemudian disebut nasikh. 
Apabila didapati suatu hadits yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadits tersebut  adalah hadits Muhkam. Namun jika dilawan dengan hadits yang sederajat, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka  hadits tersebut adalah hadits Mukhatakif al- hadits. Jika tidak mungkin untuk dikumpulkan dan diketahui mana yang terkemudi, maka yang terkemudi  itu adalah nasikh dan yang terdahulu adalah mansukh.
Para ulama yang menyusun kitab-kitab nasakh dan mansukh antara lain Ahmad Ibnu Ishaq Ad-Dinary(318 H), Muhammad Ibnu Bakar Al-Asbahani(322 H), Ahmad Ibnu Muhammad An-Nahhas(338 H), Muhammad Ibnu Musa Al-Hazimi(584 H) menyusun kitabnya yang bernama Al-Iktibar. Kitab tersebut telah diringkas oleh Ibnu Abdil Haq(744 H).
6. ILMU ASBAB AL-WURUD AL-HADITS
Kata asbab adalah bentuk jamak dari asbab.Menurut ahli bahasa asbab diartikan dengan al-habl(tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti saluran, yang artinya adalah “Segala sesuatu yang menghubungkan benda dengan benda lainnya”.Menurut istilah adalah segala sesuatu yang mengantar pada tujuan. Ada juga yang mendefinisikan dengan “Jalan menuju terbentuknya  suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu”.
Kata wurud(sampai,muncul) berarti “Air yang memancar atau yang mengalir”. Dalam pengertian yang lebih luas As-Suyuti merupakan pengertian asbab al-wurud al-hadits dengan “Sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlaq atau muqqayyat, dinasakhkan, dan seterusnya atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya”.
Dari pengertian diatas , dapat dibawa pada pengertian ilmu Asbaab Al-wurut Al-Hadits, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW. menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda Rasulullah SAW. Tentang suci dan menyucikan air laut, yaitu “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.Hadits ini dituturkan oleh Rasulullah SAW.ketika seorang sahabat yang sedang berada ditengah laut mendapatkan kesulitan untuk berwudlu’. Contoh lain adalah hadits tentang niat yang dituturkan berkenaan dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW. Ke Madinah. Salah seorang yang ikut hijrah karena ingin menikahi wanita yang bernama Ummu Qais. 
Urgensi asbab wurud terhadap hadits sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadits, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Quran terhadap Al-Quran. Ini terlihat dari beberapa faedahnya, antara lain dapat mentaksis arti yang umum, membatasi arti yang mutlaq, menunjukkan perincian terhadap yang mujmal,menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum. Maka dengan memahami ilmu Asbab Wurud Al-Hadits ini, makna yang dimaksud atau dikandung oleh suatu hadits dapat dipahami dengan mudah.Namun demikian, tidak semua hadits mempunyai asbab al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Quran memiliki asbab an-nuzulnya.Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memehami hadits, sebagaimna ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran.
Ulama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat adalah Abu Hafas Ibnu Umar Muhammad Ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad(309 H), Ibrahim Ibnu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al-Husaini(1120 H), dalam kitabnya Al-Bayan Wa At-Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H.
7. ILMU MUKHTALIF AL-HADITS
Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan agar pertentangan tersebut dapat dihilangkan atau dapat dikompromi antara keduanya sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami isi atau kandungannya, dengan menghilangkan kemusykilan atau kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa dengan menguasai ilmu Mukhtalif Al-Hadits, maka hadits-hadits yang tampaknya bertentangan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentangan itu sendiri. Begitu juga kemusykilannya yang terlihat dalam suatu hadits dapat dihilangkan dan  ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut. Dapat disimpulkan bahwa ilmu tersebut membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits yang isinya bertentangan.
Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘am, atau menaqyidkan yang mutlaq, atau dengan memandang banyaknya yang terjadi. Para ulama yang telah berusaha menyusun ilmu ini antara lain Al-Imamusy Syafii(204 H), Ibnu Qurtaiba(276 H), At-Tahawi(321 H), dan Ibnu Jauzi(597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disarahkan oleh Al-Ustad Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
Nama laindari ilmu tersebut antara lain: Musykil al-hadits, Takwil al-hadits, Talfiq al-hadits, danIkhtilaf al-hadits. Semua nama di atas memiliki maksud dan arti yang sama.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari penjelasan singkat di atas tentang cabang-cabang ilmu hadits, terdapat banyak perbedaan dalam referensi yang telah diangkat.Dan yang telah ditulis dalam makalah ini berjumlah tujuh cabang.Dengan mempelajari berbagai macam ilmu hadits serta perkembangannya dari masa kemasa tentunya akan semakin memberikan pemahaman kepada siapapun bagaimana kedudukan sebuah hadits baik dilihat dari sisi rawi, matan ataupun kedudukan sebuah hadits.
B.     DAFTAR PUSTAKA
a.    Lihat Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits ( Bandung : Angkasa, 1991), hal. 61; Bandingkan pula dengan Prof. Dr. H. M. Nur Sulaiman (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008) hal. 76
b.    Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits ( Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 68
c.    Lihat ibid, hal 71-72 dan 77. Bandingkan dengan Utang Ranuwijaya, Drs, dan Mundzir Suparta, Drs. Ilmu Hadits (Jakarta : Raja Grafindo, 1993) hal. 24
d.   Majid Khon. Dr. Op.cit, hal. 78-79
e.    Fathur Rahman, Drs. Ikhtisar Musthalah hadits (Bandung : al-Ma’arif, 1985) hal. 245
f.     Fathur Rahman, Drs. Ibid , hal . 258-273
g.    Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 85
h.    Syuhudi Ismail, Dr. Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 77-80
i.      Fathur Rahman, Drs. Op.cit, hal . 298-304
j.      Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 291-293
k.    Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 286-289
l.      Edi Safri, Al-Imam al-Syafi'i, Metode penyelesaian Hadis Mukhtalif (Disertasi: IAIN Jakarta, 1990) h. 152-206.






 







No comments:

Post a Comment

Manajemen Pembinaan Akhlak

Indonesia kini tengah berada dalam kondisi krisis dan dekadensi moral. Terjadinya kerusakan atau kemerosotan moral di Indonesia disebabkan ...